SEJARAH BERDIRINYA PERSIJA JAKARTA
Persija berdiri sebulan setelah lahirnya Sumpah Pemuda, tanggal 28 November 1928. Ketika itu perkumpulan pemuda Jakarta sepakat untuk membentuk Voetballbond Indonesische Jacatra (VIJ), kenapa pakai Jacatra? karena rasa nasionalisme pemuda Jakarta tumbuh begitu tinggi, jadi mereka meninggalkan kata-kata Batavia sebagai nama perkumpulan Sepakbola. Lagipula VIJ lahir juga sebagai perlawanan Voetballbond Batavia Omstraken (VBO), perkumpulan sepakbola Batavia dari kalangan Belanda.
VIJ
adalah perkumpulan sepakbola yang murni diisi oleh orang-orang Pribumi. Rasa
nasionalisme para pemuda ini tidak terbendung lagi, sehingga VIJ pun diberi
identitas ‘Merah dan Putih’ sebagai wujud Indonesia secara kecil. VIJ juga
tercatat sebagai perkumpulan sepakbola yang ikut membidani lahirnya Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Mr. Soekardi sebagai perwakilan VIJ dan
Iskandar Brata sebagai Ketua Umum pertama VIJ.
Kompetisi
PSSI pertama tahun 1931, VIJ berhasil keluar sebagai juara setelah berhasil
mengalahkan VVB (Solo) dan PSIM (Jogjakarta). Setahun berselang, VIJ gagal
menjadi juara.
Baru
pada tahun 1933, 1934 dan 1938 VIJ keluar sebagai juara.
Pada
era kependudukan Jepang, sepakbola Indonesia vakum alias tidak ada kegiatan.
Kompetisi baru dimulai kembali pada tahun 1951. VIJ pada tahun 1950 merubah
namanya menjadi nama Indonesia, yaitu Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta
atau yang kita kenal dengan PERSIJA. 
Pada
tahun ini pula beberapa klub VBO yang banyak berisikan pemuda pribumi mulai
bergabung ke Perkumpulan Persija, yang pertama bergabung adalah Bangka Belitong
Sport Association alias BBSA, lalu diikuti Cung Hwa (PS Tunas Jaya), UMS,
Maesa, Hercules dll.
Dengan limpahan pemain-pemain dari VBO, Persija tidak kesulitan menemukan pemain-pemain hebat, rata-rata pemain Persija diambil dari UMS dan Cung Hwa yang pada kompetisi VBO sangat menguasai Kompetisi VBO tersebut.
Dengan limpahan pemain-pemain dari VBO, Persija tidak kesulitan menemukan pemain-pemain hebat, rata-rata pemain Persija diambil dari UMS dan Cung Hwa yang pada kompetisi VBO sangat menguasai Kompetisi VBO tersebut.
Beberapa
pemain top Persija saat itu seperti Van der Vin, Hong Sing, Him Tjiang, Kwee
Tek Liong dan Djamiaat Dalhar berasal dari UMS, lalu Tan Liong Houw dari Cung
Hwa (Tunas Jaya) atau Van der Berg dari BBSA berhasil mencuri perhatian
masyarakat Jakarta yang saat itu deman sepakbola. Persija akhirnya keluar
sebagai juara pada tahun 1954 setelah mengalahkan PSMS dengan skor 2-1.
Sepuluh
tahun berselang Persija kembali merajai Kompetisi PSSI 1964. Juara Tahun ini
sungguh istimewa, karena saat itu Persija tidak terkalahkan dengan
pemain-pemain muda yang diambil dari Kompetisi Persija. Tangan dingin pelatih
legendaris Persija, drg Endang Witarsa berhasil membawa anak-anak muda ini
berpesta di Senayan, setelah pada pertandingan penetuan berhasil menghancurkan
Persebaya Surabaya.
Dari
tangan dingin drg. Endang Witarsa pula lahir generasi hebat Persija seperti
Soetjipto Soentoro, Yudo Hadiyanto, Fam Tek Fong, Kiat Seek, Dominggus,
Supardi, Didik Kasmara, Surya Lesmana dll. Tentu penemuan Soetjipto Soentoro,
adalah paling fenomenal. Ditemukan di pinggiran Gandaria, Kebayoran Lama,
Jakarta, pemain ini menjadi maskot Persija saat itu. Gareng adalah sapaan akrab
Soetjipto, bahkan Gareng pun memulai debut bersama Persija pada usia 16 Tahun.
Usai
gagal mempertahankan gelar juara pada Kompetisi tahun 1965, yang jatuh ke
Persib, Persija baru bisa meraih kembali gelar juara sembilan tahun kemudian di
tahun 1973. Era 70an bisa dibilang adalah eranya Persija, setelah berhasil
menguasai Kompetisi Piala Suratin U-18, pemain-pemain jebolannya kemudian
berhasil mempersembahkan gelar juara untuk Persija senior.
Era ini pula pemain-pemain Persija berteknik sepakbola modern. Risdianto, Iswadi Idris, Anjas Asmara, Sutan Harharah, I’im Ibrahim, Oyong Liza, Sumirta, Yudo Hadiyanto dkk. bahkan bukan saja andalan di Persija tapi juga di Timnas Indonesia kala itu. Di Era ini penonton sepakbola Indonesia selalu disuguhkan permainan berteknik tinggi dari Persija. Maka tak heran Persija berhasil meraih gelar juara pada tahun 1973, 1975 dan 1979. Persija hanya gagal juara pada era ini pada tahun 1971 dan 1977.
Era ini pula pemain-pemain Persija berteknik sepakbola modern. Risdianto, Iswadi Idris, Anjas Asmara, Sutan Harharah, I’im Ibrahim, Oyong Liza, Sumirta, Yudo Hadiyanto dkk. bahkan bukan saja andalan di Persija tapi juga di Timnas Indonesia kala itu. Di Era ini penonton sepakbola Indonesia selalu disuguhkan permainan berteknik tinggi dari Persija. Maka tak heran Persija berhasil meraih gelar juara pada tahun 1973, 1975 dan 1979. Persija hanya gagal juara pada era ini pada tahun 1971 dan 1977.
Setelah
Era 70an, Persija mengalami reformasi pemain pada tahun era 80an. Dengan tidak
menghilangkan ciri khasnya, yaitu permainan skill tinggi, tim yang identik
dengan warna Merah ini sedikit menurun pada era ini. Setelah gelar juara tahun
1979, Persija dengan berani menurukan pemain-pemain mudanya termasuk salah satunya
adala Reva Deddy Utama.
Persija
bahkan hampir terdegradasi pada tahun 1985. Persija terselamatkan oleh gelaran
4 Kecil yang diadakan PSSI untuk menentukan siapa yang degradasi ke Divisi I
PSSI dan siapa yang promosi ke Divisi Utama PSSI. Hampir degradasi membuat Ketua
Umum Persija saat itu, ir.Todung Barita Lumbanraja berniat membuat Sekolah
Sepakbola Persija sebagai sarana pencarian bibit muda untuk Persija.
Setelah
tahun 1985, Persija perlahan mulai bangkit dan kembali mengacak-acak arena
Divisi Utama PSSI. Di Era ini-lah perseteruan baru dengan Persib Bandung
meruncing sangat tajam.
Persija
yang saat itu banyak diisi pemain-pemain jebolan PSSI Timnas Garuda seperti
Tony Tanamal, Patar Tambunan dan Agus Waluyo mulai mengusik dominasi Persib di
era 80an. Harus diakui bahwa era 80an adalah eranya Persib, maka saat Persija
yang mulai bangkit kembali, menjadi ancaman serius Persib.
Persija
era ini memang tidak menghasilkan gelar juara, hanya runner-up pada tahun 1988
dan peringkat ke ketiga pada tahun 1990 tidak lantas membuang ciri khas Persija
yang bermain teknik tinggi. Pelatih Sugih Hendarto adalah seorang maestro
Persija era itu, kawan Wiel Coerver itu telah menjadikan Persija menjadi tim
yang sangat atraktif dan menjadi tim yang sangat ditunggu-tunggu penikmat
sepakbola Indonesia era itu, bahkan oleh para bobotoh.
Era
90an Persija sedikit terpuruk dengan ditandai ketidakmampuan Persija bertanding
ke Cimahi, Bandung untuk menghadapi Persikab pada suatu lanjutan Liga
Indonesia. Tapi kondisi ini tidak berlangsung lama, saat Gubernur DKI Jaya saat
itu, Sutiyoso mulai memperhatikan Persija. 
Perlahan-lahan Bang Yos membangun era nya di Persija, mulai mendatangkan
pemain-pemain eks Bandung Raya yang bubar sampai merubah warna kostum kebanggan
Persija yang sudah bertahun-tahun menemani perjalanan Persija.
Jadilah
Persija era Bang Yos ini berwarna Orange dan berhombase di Lebak Bulus dengan
berbagi tempat dengan pemiliknya, Pelita Jaya. Persija era Bang Yos mulai
kembali diperhitungkan kembali sebagai calon Juara. Setelah hampir menunggu
duapuluh dua tahun lamanya, gelar tertinggi Sepakbola Indonesia kembali diraih
Persija pada tahun 2001.
Harmonisasi
dari pengurus hingga, supporter The Jakmania menjadikan Persija tim yang solid
sehingga gelar juara sebetulnya tinggal menunggu waktu. Persija berhasil
mengalahkan PSM Makassar 3-2 lewat gol Imran Nahumarury dan dua gol dari
legenda hidup Persija saat ini, Bambang Pamungkas. Musim berikutnya Persija
gagal mempertahankan gelar juaranya, dan sampai saat ini Persija belum lagi
merebut gelar juara Liga Indonesia yang sekarang bernama Indonesia Super League
(ISL). Persija era orange baru mengoleksi gelar juara tertinggi PSSI satu kali
serta dua kali Piala Brunei Invitation pada tahun 2000 dan 2001.
Bahkan
yang sangat miris saat semua identitas Persija berubah dari merah ke orange,
Persija juga kehilangan Stadion Menteng yang digusur oleh “pembina”nya sendiri.
Ini berbanding terbalik dengan M.H. Thamrin sebagai pembina Persija saat masih
bernama VIJ, Bang Thamrin mati-matian mengupayakan VIJ atau Persija memiliki
lapangan sendiri di daerah Petojo, dengan uang 2000 Gulden, Bang Thamrin
membeli tanah untuk sarana latihan VIJ/Persija, memutar kompetisi VIJ dan
terlebih penting adalah sarana bermain bagi orang-orang Jakarta.
Juara
Kompetisi Tertinggi PSSI
(1)
Tahun 1931
(2)
Tahun 1933
(3)
Tahun 1934
(4)
Tahun 1938
(5)
Tahun 1954
(6)
Tahun 1964
(7)
Tahun 1973
(8)
Tahun 1975
(9)
Tahun 1979
(10)
Tahun 2001
Runner-Up
(1)
Tahun 1932
(2)
Tahun 1952
(3)
Tahun 1977
(4)
Tahun 2004
Meraih
Juara Pertama Kalinya
 


 
 
 
0 Comments